Hanya sebesar 9 persen sampah di Indonesia yang sudah disortir dan didaur ulang dengan baik. Padahal, pada kenyataannya, sebesar 80 persen sampah di Indonesia berpotensi untuk didaur ulang.
Hal itu terungkap dalam kuliah yang membahas sebuah topik besar yang berjudul “Integrated Business Idea and Aligning Entrepreneurship with SDGs”, Rabu (21/7/2021). Topik tersebut dibahas menjadi dua sub topik utama.
Topik pertama tentang R&D and Technology to achieve SDGs for Wasteforchange, yang akan disampaikan oleh Meydam Gusnisar, MBA selaku Head of Research and Development and temporary Head of Finance PT Wasteforchange Alam Indonesia. Topik kedua berjudul Integrated Operation with SDGs Values by Fishery yang akan disampaikan oleh Chrisna Aditia Wardani selaku CPO E- fisheries. Kedua dosen tamu ini adalah pelaku-pelaku bisnis di salah satu perusahaan terkenal di Indonesia yang menjadikan nilai SDGs sebagai sebuah peluang bisnis mereka.
Dikatakan Meydam, terdapat berbagai jenis sampah seperti, sampah makanan, plastik, kertas, kaca, dan lain-lain. Sampah-sampah ini dikategorikan menjadi dua jenis yaitu organik dan anorganik. Untuk sampah organik memiliki kelebihan karena mudah terurai dan dapat diolah menjadi pupuk, tetapi bila sampah ini dibiarkan selama 2 hari akan menimbulkan bau yang membuat tidak nyaman. Berbeda dengan sampah anorganik, sampah jenis ini tidak akan menimbulkan bau, tetapi berpengaruh terhadap lingkungan.
Selain permasalah seputar daur ulang, masalah lain tentang sampah yakni Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah yang penuh sehingga kadang menimbulkan longsoran akibat banyaknya sampah yang disetorkan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa beberapa permasalahan sampah yang terjadi diakibatkan dari sistem pengelolaan dan pengolahan sampah yang belum maksimal.
“Hal ini dapat terjadi diakibatkan oleh beberapa penyebab yaitu kurangnya implementasi dari adanya penegakan hukum, regulasi dikembangkan tidak berdasarkan data yang ada, tidak adanya koordinasi yang baik dalam pengembangan regulasi, dan segala aktivitas pengelolaan sampah tidak terpantau dengan baik,” kata Meydam.
Selain itu, masalah sampah disebabkan oleh tidak adanya koordinasi dalam proses pengelolaan sampah, adanya tantangan dari aspek geografis, tidak adanya integrasi dalam pelaksanaanya, kurangnya komunikasi, teknologi yang digunakan tidak optimal, tidak adanya platform untuk mengadakan kolaborasi pengelolaan sampah, hingga kurangnya biaya. Inilah hal-hal yang menyebabkan pengolahan dan pengelolaan sampah di Indonesia belum dilaksanakan dengan bertanggung jawab dan maksimal.
“Oleh sebab itu, Wasteforchange hadir untuk menyelesaikan masalah yang ada. Wasteforchange sendiri adalah perusahaan yang menyediakan jasa pengelolaan sampah dari hulu ke hilir dengan visi mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan sampah. Kami juga akan mengubah pola pikir tentang pengelolaan sampah dari yang berupa Linear economy menjadi circular economy.” ucap Meydam.
Wasteforchange menggunakan end-to-end sistem untuk pengelolaan sampah. Hal pertama yang dilakukan adalah dengan memberikan edukasi dan pelatihan mengenai pengelolaan dan pengolahan sampah yang maksimal dan bertanggung jawab. Setelah itu wasteforchange juga memfasilitasi waste-sorting system dan memastikan setiap prosesnya berjalan dengan baik. Sehingga, sampah dapat diolah dengan baik dan sampah yang masuk TPA hanya sampah-sampah yang tidak bisa didaur ulang seperti sampah kemasan makanan yang masih tersisa bumbu-bumbu makanan. Penyelesaian permasalahan sampah ini perlu adanya kerja sama dari banyak pihak yang terkait.
E-Fishery
Selain permasalahan tentang pengelolaan sampah yang kurang optimal, terdapat permasalahan yang muncul terkait dengan dunia kebersihan dunia perairan. Biasanya para nelayan ikan tawar akan memberikan makan secara acak kepada ikan-ikan, makanan ikan tersebut tidak tersalurkan dengan baik dan akhirnya mengendap di waduk-waduk. Hal ini tentunya mengancam kebersihan dan kelestarian air.
Permasalahan inilah yang membawa Chrisna Aditya bersama teman-temannya menginisiasikan sebuah ide untuk mempermudah para nelayan dalam memberikan makanan ikan secara efektif dan optimal. Sehingga, muncullah sebuah teknologi bernama e-fishery.
E-Fishery merupakan teknologi yang dapat memberikan makan ikan secara otomatis dan mesin yang digunakan hanya akan mendapatkan perintah menggunakan SMS dan mesin akan bekerja. Teknologi ini membantu para nelayan untuk menjaga kelestarian kolam-kolam ikan yang digunakan. E-fishery sendiri memiliki 3 nilai utama yaitu menciptakan teknologi yang bersifat akuakultur, menyediakan teknologi dengan harga yang sesuai, dan inclusive digital economy.
“Indonesia adalah negara kedua terbesar yang memiliki potensi kelautan dan perikanan sebesar $1.2 trillion, dengan 30.2 juta kolam dan 3.3 juta nelayan. Perikanan juga adalah sektor pangan dengan pertumbuhan yang cepat sebesar $3.9 billion setiap tahunnya,” ucap Chrisna.
Dengan end-to-end aquaculture value chain, e-fishery akan membantu para nelayan dan pelaku bisnis yang memerlukan ikan dalam menjalankan bisnisnya dan mendukung pelaksanaan poin-poin dalam SDGs seperti meningkatkan adopsi teknologi IoT dan digital bagi para pembudidaya ikan (SDGs poin 9), memupuk regenerasi pembudidayaan ikan (SDGs poin 8), mendukung ketahanan pangan dan peningkatan nutrisi di Indonesia (SDGs pon 2 dan 12), dan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan pembudidaya ikan (SDGs poin 1).
E-fishery memiliki beberapa program seperti, eFisheryFarm (Smart Feeding Machine), eFisheryMall, eFisheryKabayan (Paylater System), dan eFisheryFresh).