Bus Rapid Transit (BRT) merupakan upaya pemerintah dalam membangun transportasi umum. Salah satu tantangan kedepan dalam mengelola BRT adalah membentuk model bisnis yang berkelanjutan.
Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung bekerjasama dengan MRT Jakarta menggelar diskusi publik untuk membentuk model bisnis berkelanjutan bagi BRT pada Kamis (30/9/2021). SBM ITB mengundang tujuh pakar dari beberapa institusi, antara lain Ketua Kelompok Riset DMSN SBM ITB, Dr. Yos Sunitiyoso, Direktur Teknik dan Sarana Transjakarta, Yoga Adiwinato, dan Wakil Dekan Bidang Sumber Daya SAPPK ITB, Dr. Puspita Dirgahayani. Diskusi publik ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan masukan mengenai pengembangan model bisnis untuk BRT, termasuk bagaimana menghasilkan pendapatan dari tiket dan nontiket dengan belajar dari pengalaman perusahaan transportasi umum lain seperti Transjakarta, MRT Jakarta, dan MTR Hongkong.
Direktur MBA ITB kampus Bandung, Dr. Yunieta Anny Nainggolan mengawali diskusi dengan mengevaluasi implementasi penyediaan angkutan umum saat ini, terutama sistem Buy the Service (BTS/Teman Bus). Yunieta juga membandingkan model transportasi umum BRT dengan lainnya seperti model bisnis MRT Jakarta dan Bogota. Dia juga memaparkan bagaimana MRT Jakarta dan Bogota menghasilkan pendapatan.
“Dilema angkutan umum yakni apakah akan berorientasi pelayanan masyarakat dengan tarif terendah atau mempertahankan kesempatan untuk meraup pendapatan tambahan,” kata Yunieta.
Faela Sufa, Direktur Asia Tenggara di Institute for Transportation & Development Policy juga memberikan paparan tentang beberapa model bisnis sistem transportasi umum di Indonesia dan negara lain serta menyentuh topik bus listrik. Faela membahas kekurangan dari konsep Buy the Service (BTS), seperti kurangnya komitmen dari pemerintah karena durasi kontrak yang hanya tiga tahun. Hal itu membuat investor enggan bergabung dan skema pemungutan tarif juga masih belum jelas. Ia kemudian memaparkan tiga usulan model bisnis untuk BRT, mikrolet, dan e-bus.
Morris Cheung, Mantan Presiden MTR Academy Hong Kong juga membicarakan topik ini dalam konteks MTR Hongkong yang menggunakan model bisnis “Rail+Property” dan bagaimana hal itu mengarah pada situasi win-win-win bagi setiap pihak yang terlibat, termasuk pemerintah dan masyarakat.
Pengembangan transportasi publik berpotensi menjadi katalisator regenerasi perkotaan, gaya hidup perkotaan baru, dan pertumbuhan ekonomi. Tidak ada solusi tunggal yang akan beroperasi di semua wilayah dalam konteks model bisnis BRT dalam penerapannya di kota-kota kecil.
“Pemerintah harus mengidentifikasi dan mengenali situasi lokal; seperti yang ditunjukkan dalam hasil penelitian, ada daerah yang lebih sensitif tarif, ada daerah yang siap membayar lebih untuk meminimalkan waktu perjalanan, dan merancang model bisnis dengan tepat. Misalnya, di daerah dengan permintaan rendah, pemerintah dapat memberikan servis lebih, tetapi di daerah dengan permintaan tinggi, proyek yang memaksimalkan keuntungan dapat dilakukan,” ujar Morris.
Model tersebut juga harus memanfaatkan peluang pendapatan nontiket, seperti pengembangan reklame, bisnis komersial, dan lainnya. Terakhir, pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi dalam perencanaan dan penyediaan sistem transportasi umum dan fasilitas pendukung transit menuju pembangunan berorientasi transit berbasis BRT.