Kemajuan teknologi digital mengubah cara konsumen berperilaku dalam berbelanja. Perusahaan di industri ritel perlu menemukan model bisnis baru untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut. Sejumlah pengusaha di Tiongkok menerapkan konsep baru new ritel dalam merespon perubahan perilaku konsumen tersebut.
New retail merupakan istilah yang digunakan oleh Alibaba untuk menggambarkan perpaduan perdagangan secara daring dan luring. Prof. Yang Sun, dari The Northeastern University, Tiongkok mengatakan, konsep tersebut merupakan bentuk transformasi industri ritel dari model tradisional ke model yang lebih terintegrasi dan otomatis.
“Konsep new retail adalah integrasi online, offline, logistik, dan data di seluruh rantai nilai tunggal,” imbuh Prof. Yang Sun melalui sesi kuliah tamu yang diadakan oleh Sarjana Manajemen, SBM ITB, Kamis (12/2/2021). Diselenggarakan secara hybrid (daring dan luring), Sesi dosen tamu ini dihadiri mahasiswa dari kelas bisnis internasional dalam kuliah umum bertajuk “Retailing di China”.
Selain itu, new retail juga sebagai jembatan e-commerce, ritel fisik, dan logistik dalam rangka meningkatkan efisiensi jual beli, serta meningkatkan pengalaman berbelanja. Data dalam jumlah besar (big data) menjadi inti dari konsep new retail. Hal ini dikarenakan melalui big data, perusahaan dapat memahami preferensi pelanggan terhadap suatu produk.
Selain itu, melalui big data, perusahaan juga dapat menganalisis kebiasaan belanja konsumen, dan menganalisis jumlah penjualan, sehingga membawa keuntungan bagi perusahaan ritel. “Ini memungkinkan pengiriman yang efisien dan mengurangi kelebihan persediaan,” kata Yang Sun.
Di Tiongkok, selain Alibaba, Hema Fresh Store juga menerapkan konsep new ritel. Untuk Alibaba, mereka membuka toko ritel tanpa kasir yang otomatis bernama Tao Cafe. Sementara, di Hema Fresh Store, mereka membuat layanan yang memungkinkan konsumen untuk memesan makanan secara daring. “Pesan makananmu, Hema bisa memasak untukmu dan mengantarkannya ke rumah atau perusahaanmu,” kata Yang Sun.