SBM ITB melakukan kegiatan bedah buku berjudul The Sustainability University of the Future, kumpulan tulisan dari sejumlah penulis yang membahas tentang masa depan universitas, pada Selasa (15/8) di Bandung. Sesi ini bertujuan untuk membahas ide-ide dan diskusi tentang implementasi sustainability 2.0 pada institusi perguruan tinggi. SBM ITB punya tantangan untuk mengimplementasikan ide-ide dalam buku tersebut.
Buku tersebut membahas tentang framework dan konsep sustainability pada perguruan tinggi. Ada juga pembahasan tentang studi kasus tentang bagaimana Turki, Universitas Hong Kong, dan American University of Beirut di Lebanon mengimplementasikan sustainability di dalam institusi masing-masing.
Dua pengajar SBM ITB, Prof. Togar M. Simatupang, Ph.D. dan Sonny Rustiadi, M.B.A., Ph.D. hadir sebagai pembahas buku tersebut. Santi Novani, Ph.D. bertindak sebagai moderator.
Santi membuka diskusi dengan menjelaskan relevansi topik buku pada SBM ITB dalam era new wave, di mana sudah menjadi perannya akademisi memimpin adopsi perubahan-perubahan baru dalam rangka membangun masa depan yang lebih baik lagi. Tidak hanya di dunia akademik tetapi juga di dunia bisnis dan pemerintahan.
“Apa peran SBM ITB – baik sebagai pemimpin, peneliti, fakultas, dan mahasiswa – dalam mengimplementasikan pengembangan berkelanjutan melalui visi, misi, nilai-nilai, statement, dan rencana strategi dalam budaya organisasi untuk membuat universitas yang menerapkan sustainability?” ucap Santi.
Prof. Togar menekankan pentingnya kepemimpinan pada masa depan dalam membentuk sustainability jangka panjang. SBM ITB telah mengajarkan nilai-nilai esensial kepada mahasiswanya, yaitu system thinking dan pengembangan profesional secara berkesinambungan. SBM ITB membekali mahasiswanya dengan future-fit leadership, demi mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan pada dunia yang sedang mengalami deteriorasi dan penuh dengan unsur VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity).
Prof. Togar yakin SBM ITB akan menjadi sebuah sekolah bisnis di tingkat pendidikan tinggi yang mencapai sustainability sebagai katalisator pengembangan. Pemanfaatan segala sumberdaya dan modal insani dilakukan untuk menjawab tantangan-tantangan sosial sekarang dan menjadi sebuah komponen esensial dalam ekosistem sekelilingnya. Togar juga membahas beberapa perspektif baru yang muncul mengenai sustainability. Contohnya adalah pengenalan pada 5P’s – people, prosperity, peace, partnership, planet – yang merupakan penambahan dari yang sebelumnya hanya 3P’s.
“Ini sudah bukan hanya tentang uang lagi, tapi juga kedamaian, kelestarian alam, dan lain-lain,” ucap Togar. “Kita harus mulai membuka partnership yang saling melengkapi. ‘Peaceful, just, and inclusive societies’ – bagaimana kita bisa berdamai dengan orang lain dan adil – itu semua masih berat.”
Sementara Sonny membahas sustainability 2.0 sebagai iterasi terbaru dari sustainability itu sendiri.
“Bumi ini bukan warisan nenek moyang kita, tetapi warisan kita untuk anak cucu kita,” ucap Sonny, mengutip alm. Prof. Ir. H. Surna Tjahja Djajadiningrat, M.Sc., Ph.D. “Yang harus dilakukan sekarang adalah membuat ruangan untuk people-centered development dalam dunia yang terus berubah, di mana kemampuan dan inisiatif orang-orang dapat menentukan hasil dari tantangan-tantangan dunia.”
Sonny lalu menjelaskan contoh-contoh nyata yang dilakukan oleh prodi Kewirausahaan SBM ITB dalam membuka jalan bagi mahasiswanya bereksplorasi dan berkontribusi terhadap sustainability melalui proses belajar di kuliah. Salah satu komponen penting dalam proses ini adalah empat jalur kewirausahaan (atau entrepreneurial track) yang dapat dipilih oleh mahasiswa untuk menyesuaikan pembelajaran kuliah mereka dengan minat, kemampuan, dan tujuan mereka masing-masing.
“Kami mengimplementasikan keyword dan pesan yang dapat diterapkan di dalam kurikulum kami. Ini terbagi menjadi empat aspek, yaitu ‘interdisciplinary’, ‘transdisciplinary’, ‘collaborative platform’, dan ‘multi-stakeholder coalitions’. Empat aspek inilah yang rasanya di ITB terutama SBM bisa dimulai, bagaimana kita bisa melibatkan sebanyak mungkin stakeholder, menciptakan collaborative platform baik digital atau fisik.”