Dr. Ir. Subiakto, M.B.A., RFA, QWP, CFP, Wakil Dekan Akademik SBM ITB, telah melewati perjalanan sangat panjang hingga sampai ke titik ini dalam hidupnya. Usai lulus dari teknik mesin ITB, ia bekerja dan belajar di luar negeri, lalu kembali ke tanah air dan sekarang memegang posisi penting di SBM ITB. Banyak hal yang dapat dipelajari dari cerita perjalanan Subi, panggilan akrabnya.
Mengejar Kampus Impian
Masa kecil Subi sangat dinamis. Ketika SD saja, ia berpinda-pindah tempat tinggal. Selama enam tahun itu ia tinggal di Jogja hingga Palembang. Ia lalu menetap di Palembang untuk menyelesaikan pendidikan SMP dan tahun pertama SMA.
Sejak SMA Subi mulai bermimpi masuk Institut Teknologi Bandung. Namun ia tahu tak mudah masuk ke ITB. Apalagi bagi siswa dari luar Jawa.
“Trennya waktu itu adalah pindah ke SMA negeri di Bandung ketika masuk kelas dua SMA,” kata Subi ketika menjelaskan strategi dia dahulu. “Karena dulu saya dari SMA swasta, jadinya lebih susah. Akhirnya saya masuk ke SMA swasta juga di sini (Bandung).”
Setelah dua tahun mengumpulkan prestasi di sekolah, Subi akhirnya menjadi satu dari 11 orang di sekolahnya yang berhasil masuk ke ITB.
Kehidupan di ITB dan pasca-lulus
Subi masuk program studi Teknik Mesin yang ketika itu di bawah Fakultas Teknik Industri ITB kini di bawah Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara. Di jurusan itu Subi mengambil spesialisasi mesin bakar. Ia lalu menjadi bagian dari Laboratorium Mesin Bakar dan Sistem Propulsi ITB pada saat itu. Di sinilah ia bertemu dengan Alm. Prof. Ir. Wiranto Arismunandar, MSME., yang menjadi dosen pembimbing tugas akhirnya. Prof Wiranto adalah rektor ITB periode 1988-1997 dan berperan penting di dalam kehidupan Subi pada tahun-tahun yang akan datang.
Interaksi Subi dengan Prof Wiranto cukup intens. Bermula ketika B.J. Habibie mengembangkan industri dirgantara Indonesia dengan mendirikan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) sekarang PT Dirgantara Indonesia (Persero). Habibie saat itu membutuhkan talenta dan skill dan pengalaman yang sesuai. Banyak dosen ITB dilibatkan dalam proyek tersebut, termasuk Prof Wiranto. Beliau juga mengajak murid-muridnya untuk berpartisipasi dalam pergerakan ini, salah satunya Subi.
“Iming-imingnya waktu itu adalah dikirim magang selama 6 bulan di Amerika, jelas terdengarnya sangat seru,” ucapnya. “Tidak butuh pikir panjang lagi, saya memilih untuk percaya dengan arahan [Prof. Wiranto] dan bergabung.”
Setelah bergabung dengan IPTN, Subi mulai mengambil peran dalam proyek-proyek seperti pembuatan pesawat IPTN CN-235, sebuah kolaborasi antara Indonesia dan Spanyol yang juga melibatkan mesin CT-7 dari General Electric. Untuk memenuhi kebutuhan proyek ini, General Electric membuat sebuah divisi baru bernama Universal Maintenance Center yang menangani pemeliharaan dan proses overhaul untuk mesin pesawat ini.
Subi mulai merasakan kemampuannya diuji ketika magang di General Electric, Arkansas. Keahlian yang didapatkan selama menjadi bagian dari lab mesin bakar dan sistem propulsi di bawah arahan Wiranto cocok dengan kebutuhan mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, ia tidak lagi hanya mengerjakan mesin General Electric saja, tetapi juga mengurus mesin dari perusahaan-perusahaan seperti Pratt and Whitney dan Rolls Royce.
Sekembalinya ke Indonesia, Subi merasa karirnya naik dengan sangat cepa, berkat magang di General Electric. Ia juga sadar bahwa meskipun latar belakangnya teknik, sebagian besar kerjanya sekarang justru berhubungan dengan manajemen, mulai dari perencanaan dan pengaturan hingga bertemu dengan mitra dan membahas kontrak.
Dari Teknik ke Manajemen
Subi sadar bahwa masih banyak yang harus dipelajari jika ia ingin terus memegang peran di bidang ini. Melalui bantuan dari atasannya dan rekan-rekan di General Electric, ia mampu mendapatkan beasiswa untuk S2 bisnis dan administrasi di Oklahoma State University pada 1992. Dua tahun kemudian, ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dan menjadi satu dari dua pemilik gelar MBA di antara 400 karyawan di Universal Maintenance Center. Gelar itu dipandang sangat prestisius karena masih jarang pada saat itu, apalagi dari Amerika.
Subi terus memanjat tangga karirnya dengan cepat. Ia dipromosikan menjadi kepala divisi dan memimpin timnya untuk menghasilkan laba yang besar secara konsisten.
Dinilai sudah bisa menghidupi diri sendiri, atasannya memutuskan untuk menjadikan divisi itu sebagai anak perusahaan, yakni PT Nusantara Turbin dan Propulsi atau NTP. Subi promosi menjadi direktur di perusahaan tersebut.
Ia bahkan menerima penghargaan untuk kontribusinya dalam transfer teknologi untuk berbagai jenis turbin di Indonesia. Selain itu, ia memimpin joint venture antara IPTN dan General Electric di luar industri turbin, sebuah inisiatif yang akhirnya membawanya bertemu dengan Jack Wells, pendiri General Electric. Ia juga diminta merangkap menjadi komisaris–lalu komisaris utama–di perusahaan tersebut.
Pada puncak karirnya ini, Subi mulai merasa bahwa ia memiliki waktu luang yang lebih banyak. Di sinilah ia bertemu dengan salah satu koleganya di bangku kuliah, Ahmad Herlanto, yang sebelumnya berkarir di perbankan dan sudah menjadi dosen di ITB.
“Ia mengajak saya untuk mengajar di SBM ITB, berhubung saya cocok karena punya pengalaman di industri,” kata Subi. “Masalahnya saya harus memilih sebuah pilihan pada saat itu – antara lanjut hingga menjadi Direktur Utama di IPTN, atau mengikuti fit and proper test SBM ITB.”
Subi menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menyebab dirinya lebih memilih menjadi bagian dari SBM adalah kondisi IPTN pada saat itu. Karena perselisihan industri, ada perubahan pada jumlah karyawan IPTN. Konflik antara manajemen dan perserikatan pekerja sering terjadi. Konflik ini tidak hanya mempengaruhi hidup orang-orang di dalam perusahaan, tetapi juga keluarga-keluarga mereka.
“Ada satu kejadian di mana beberapa orang berkemah di depan rumah keluarga saya. Di saat lain, saya menemui mobil saya ditutupi dengan bunga-bunga kembang. Kesehatan saya sangat terganggu, termasuk juga karena saya sudah memasuki usia yang rawan dengan kompleksitas kesehatan lainnya.”
Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, Subi merasa bergabung dengan SBM ITB merupakan pilihan terbaik. Menjadi bagian dari sebuah organisasi baru, berarti ia harus merintis lagi karir keduanya dari awal. Ia mengapresiasi proses itu. Itulah yang menyadarkannya bahwa mengajar itu sangat seru.
Lalu Subi mendirikan Consultancy & Continuing Education SBM ITB dan juga melanjutkan pendidikan S3 Manajemen di Universitas Padjadjaran pada tahun 2015. Setelah itu, Subi lanjut mengejar pencapaian lebih tinggi dengan menjadi ketua program studi MBA SBM ITB. Ia berusaha untuk membuka program double degree pada periodenya, dan berhasil mendapatkan dua mitra awal yaitu University of Science Malaysia dan University of Glasgow.
Menjadi Wakil Dekan Akademik
Ketika periodenya sebagai ketua program studi MBA sudah selesai, Subi kembali mengajar sebagai dosen biasa. Pada tanggal 1 September 2023 lalu, ia ditawari oleh SBM untuk menjabat sebagai wakil dekan akademik. Subi menerima posisi ini dengan harapan mampu memberikan dampak positif terhadap SBM dan ikut menjadi suara representatif bagi SBM dalam periode transisi ini.
“Peran saya adalah menjamin bahwa janji-janji kualitas pendidikan SBM dapat dijaga dan dipenuhi. Kita harus bisa mengidentifikasi, menilai, dan membuat solusi agar mutu yang kita berikan kepada mahasiswa-mahasiswi dan semua mitra kami sesuai dengan yang diharapkan. Dengan begitu, kita akan menjadi pilihan pertama bagi calon mahasiswa.”
Subi menyebutkan akreditasi, ranking, dan mitra-mitra SBM ITB yang tentunya sangat baik, sebagai salah satu cara mengukur kebaikan lembaga pendidikan ini. Selain itu, ia juga melihat kesuksesan SBM sebagai gabungan usaha dari banyak orang yang berdiri di atas sinergi dan kolaborasi. Ia berharap bahwa semua pihak yang terlibat akan terus memegang teguh dua nilai ini agar terus dapat memberikan mutu yang lebih besar lagi untuk semua stakeholdernya.
“Dua tambah dua di sini belum tentu sama dengan empat. Bisa saja tujuh atau delapan jika sinergi kita bagus.”