Berpulangnya Prof. Kuntoro Mangkusubroto menandai akhir dari suatu era bagi komunitas bisnis dan akademis. Sebagai figur yang bersinar, Prof. Kuntoro memasuki ITB pada tahun 1965 di saat periode penting dalam sejarah Indonesia. Prof. Kuntoro meninggalkan jejak yang tak terhapuskan sebagai seorang pemimpin yang transformatif, pendidik, dan pembangun bangsa.
Bersama dengan 9 dosen ITB yang lain, Prof Kuntoro, dengan Prof. Surna Tjahja Djajadiningrat, Ir. Arson Aliludin, DEA, Ir. Nurhajati, MSc, Prof. Jann Hidajat, Ir. Budi Permadi, MP, Prof. Sudarso Kaderi Wiryono, Prof. Dermawan Wibisono, Prof. Utomo Sarjono Putro, Prof. Aurik Gustomo, menjadi pendiri Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB atas penugasan rektor ITB yang visioner, dan Dr. Kusmayanto Kadiman pada 31 Desember 2003.
Pendirian sekolah bisnis di lingkungan Institut Teknologi tertua di Indonesia, tak urung menimbulkan polemik keras dari para senior waktu itu. Pusat Engineering, Science dan Arts yang telah lama berdiri, bahkan sejak sebelum proklamasi dikumandangkan. Dengan satu konsekuensi sekolah akan berdiri atau out dari ITB karena tidak ada institusi penampung ke 10 dosen tersebut di ITB. Sesuatu yang sama sekali baru, out of the box. Konsekuensi yang perlu untuk dipikirkan ribuan oleh banyak dosen waktu itu untuk bergabung, membangun bersama sesuatu yang masih samar di depan mata.
Namun tidak bagi ke-8 dosen itu karena mereka melihat konsep matang, spirit, endurance, dan komitmen Prof. Kuntoro. “Katakan padaku, aku percaya, dan aku ikut. Sami’na wa’athokna, prinsip fatalistik yang tidak biasa aku lakukan dalam hidup sebetulnya.”
Dengan konsep baru pengelolaan yang mandiri, sesuai dengan asal penyusunan sekolah yang mengambil reference dari AS dan UK yakni sekolah, yang mandiri secara finansial dan sumber daya manusia. Artinya punya hak penuh dalam pengelolaan keuangan dan perekrutan tenaga dosen dan tendik, yang waktu itu dilakukan dengan porsi minimal 70:30 sebagai perwujudan sebuah studi yang sudah dilakukan di banyak institusi tentang syarat tegaknya sebuah institusi.
Mulai dari bayar listrik, bayar tenaga keamanan (satpam), air, renovasi fasilitas fisik, penggajian tendik dan dosen, pengembangan institusi semua atas dasar kemandirian, yang tidak semua fakultas sanggup dan berani melakukannya.
Dalam awal pendiriannya Prof. Kuntoro pernah mengatakan tidak ingin di SBM terjadi re-bleeding dengan rekrut dosen dari satu institusi asal saja, bayangan Prof. Kuntoro adalah 40 persen dosen dari dalam negeri dan 60 persen dari luar negeri sehingga nantinya dosen internal akan menjadi minoritas untuk menghela institusi menjadi berkelas dunia. Sebagai referensinya adalah Universitas di Singapura, NUS dan NTU dan Chulalongkorn di Thailand, yang langsung teken kontrak dengan universitas di Amerika. Perangkat dan SDM disiapkan selama 10-20 tahun di dalam negeri sebelum dilepas landas, seperti universitas di negara tetangga, terutama Singapura yang sudah masuk dalam 50 besar dunia saat ini dalam perangkingan berbagai lembaga seperti Shanghai Jia Tong, Webometrics, Times Higher Education, dan sebagainya.
Sayang birokrasi di Indonesia belum memungkinkan hal yang ekstrim dan langkah radikal semacam itu dilakukan. Namun di tengah keterbatasan tersebut, Kun membawa SBM berkembang melesat cepat, dengan berbagai program studinya dan menjadi nomor 1 di Indonesia bahkan mendapatkan akreditasi internasional AACSB, di mana hanya 6 persen sekolah di dunia bisa mendapatkannya.
Hal ini terutama karena terpaterinya values yang diyakini dan diterapkan dari para pendiri dan pengikutnya kemudian, yaitu integritas dan komitmen bahwa kuliah adalah sakral sehingga dosen tidak bisa seenaknya mengubah jadwal atau kosong atas nama kepentingan pribadi. Selain juga penerapan fairness dalam mekanisme pengajaran dan penilaian yang dilakukan.
Masih banyak lagi hal yang Prof. Kuntoro tinggalkan bagi perkembangan nusa, bangsa, dan ITB. Yang terpenting di antaranya adalah ‘Walk the Talk’, apa yang kau bicarakan harus sama dengan apa yang dilakukan, sehingga orang mengenalnya sebagai pribadi yang bersih dan selalu menorehkan warisan yang baik bagi institusi yang dikelolanya.
Dalam kenangan.
Prof. Kuntoro Mangkusubroto dikenal atas pengalamannya yang luas di tingkat nasional, sebagai Kepala Unit Pengelolaan dan Pengawasan Pelaksanaan Pembangunan Presiden (UKP-PPP) pada tahun 2009-2014, sebuah jabatan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II yang ditugaskan sebagai “mata, telinga, dan tangan” Presiden. Ia juga diakui secara global sebagai Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dari tahun 2005 hingga 2009 untuk memulihkan daerah Aceh dan Nias setelah tsunami dahsyat pada tahun 2004.
Selain itu, beliau menjabat sebagai anggota Dewan di International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA), Ketua WWF Indonesia, dan Ketua Dewan Penasihat Sekolah SBM ITB. Setelah meraih gelar master dari Stanford University dan kemudian gelar doktor dari ITB, Prof. Kuntoro memberikan kuliah umum di universitas-universitas di seluruh dunia, seperti National University of Singapore, Nanyang Technological University, dan Harvard University’s Kennedy School of Government. Pada Mei 2012, beliau menerima gelar Doctor Honoris Causa (HC) dari Northeastern University bersama dengan mantan Menteri Amerika Serikat, Colin Powell. Beliau juga dianugerahi Order of the Rising Sun, Gold, and Silver Star dari Jepang pada tahun 2023 atas kontribusinya dalam mengembangkan kerjasama bilateral Jepang-Indonesia.
Ucapan duka cita yang tulus dan dukungan tak tergoyahkan kami sampaikan kepada Ibu Tuti Mangkusubroto dan keluarga. Warisan Prof. Kuntoro akan selamanya hidup di antara kita.
Kontributor: Prof. Dermawan Wibisono, pendiri SBM ITB