“Apa yang membuat seseorang menjadi pemimpin?” Dicky Budiman, analis COVID-19 dan pakar komunikasi risiko Indonesia, bertanya kepada peserta kuliah tamu “Ethics, Leadership, and Sustainability in Global Perspective” di SBM ITB, Bandung, pada Jumat (22/3). Berbagai bentuk power (kekuasaan), seperti komunikasi, kekuasaan keluarga, kekuatan politik, dan sebagainya, mendorong individu untuk menduduki posisi kepemimpinan.
Dicky mengawali kuliahnya dengan pertanyaan tentang etika. Apa itu etika dan mengapa kita membutuhkannya. Etika seringkali berasal dari sekelompok orang yang memiliki tanggung jawab yang sama, sehingga seringkali kelompok profesional dijadikan sebagai sumber utama kode etik. Kode etik dalam suatu profesi menjelaskan apa yang salah dan apa yang benar dalam bidang profesi tertentu.
Namun, beberapa profesi tidak memiliki kode etik yang jelas, sehingga pemegang profesi harus menentukan sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Para pemimpin dunia politik adalah contoh dari skenario ini. Dicky memusatkan perhatian pada dua pemimpin dunia pada masa COVID-19: Presiden Donald Trump dari Amerika Serikat dan Perdana Menteri Jacinda Ardern dari Selandia Baru.
Kekuasaan bagi tokoh politik bersumber dari kepercayaan publik yang dipupuk melalui empati—kemampuan merasakan emosi orang lain. Selama krisis COVID-19, Donald Trump, melalui saluran komunikasi publik, mengirimkan pesan-pesan yang mengabaikan, menyangkal, meremehkan, dan bahkan mengolok-olok pandemi COVID-19.
Pernyataan publik Presiden Trump mengabaikan atau meremehkan parahnya pandemi, meskipun jumlah korban meninggal meningkat dan ada desakan dari pejabat kesehatan AS untuk menerapkan strategi mitigasi krisis yang jelas. Kurangnya empati dalam pesan-pesannya mengikis kepercayaan masyarakat AS atas kepemimpinan Trump.
Sebaliknya, Jacinda Ardern menyusun pesan-pesan yang mendorong persatuan warga Selandia Baru dalam menghadapi COVID-19. Selain itu, Ardern dan kabinetnya memotong gaji mereka sebesar 20% sebagai bentuk solidaritas terhadap mereka yang pendapatannya menurun akibat pandemi.
Kata-kata dan tindakan Ardern diterima oleh warga Selandia Baru, memperkuat kepercayaan dan kepatuhan terhadap pedoman kesehatan. Hasilnya, Selandia Baru menjadi salah satu negara pertama yang melaporkan nol kasus COVID-19.
Pengambilan keputusan dalam krisis erat kaitannya dengan prinsip etika. Menurut Dicky, ada sembilan nilai yang perlu dibenahi dalam pengambilan keputusan etis: kesetaraan dan keadilan sosial, tidak merugikan, kesejahteraan dan kebahagiaan, privasi dan rasa hormat, keamanan publik, keberlanjutan, pemberdayaan, integritas dan kejujuran, serta tanggung jawab kolektif dan individu. Mengabaikan prinsip-prinsip ini sering kali menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Dicky menyoroti bahwa aspek budaya juga berperan dalam etika. “Setiap negara mempunyai nilai-nilainya masing-masing,” komentarnya. Namun, prinsip pengambilan keputusan etis merupakan seperangkat prinsip universal yang relevan dalam semua konteks, baik global maupun lokal.