Pertumbuhan populasi dunia yang cepat, serta meningkatnya kemakmuran di kalangan kelas menengah, terutama di Asia, dan budaya konsumerisme, mendorong meningkatnya konsumsi secara global. Hal ini kemudian berkontribusi pada tekanan yang tidak berkelanjutan terhadap ekosistem dan sumber daya planet ini.
Demikian disampaikan Associate Professor Leah Watkins dari University of Otago, Selandia Baru, saat mengisi kuliah umum bertajuk “Ethics in International Trading: Sustainable Marketing Cases” yang digelar oleh Sekolah Bisnis Manajemen dan Sekolah Ilmu Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung di Auditorium Nemangkawi SBM ITB, Bandung, pada Senin (23/9). Kuliah ini merupakan bagian dari mata kuliah Integrated Business Asia. Kuliah ini ini berfokus pada topik konsumsi dan produksi berkelanjutan.
Watkins menekankan bahwa Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab sangat penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Ini adalah SDGs 12. Konsumsi dan produksi bertanggungjawab sangat menentukan SDG 13, yaitu Penanganan Perubahan Iklim, SDG 14 (Ekosistem Lautan), dan SDG 15 (Ekosistem Daratan). Kini konsumen semakin peduli dengan isu-isu lingkungan, sosial, dan ekonomi, namun kendala seperti keterjangkauan, kenyamanan, kinerja produk, dan skeptisisme menghambat adopsi perilaku berkelanjutan secara luas.
“Selandia Baru semakin mencari bisnis yang ‘lebih baik’, yang melindungi pelanggan mereka dan menarik bakat sambil berhati-hati terhadap praktik ‘greenwashing’,” kata Watkins.
Tantangan utama bagi bisnis, menurutnya, adalah membangun kepercayaan konsumen. Fasya Amasani, mahasiswa program MBA kewirausahaan di University of Otago, menjelaskan peran penting yang dimainkan bisnis dalam mendorong konsumsi berkelanjutan melalui tiga pendekatan utama: inovasi, pengaruh pilihan, dan pengaturan pilihan.
Dalam hal inovasi, bisnis didorong untuk melakukan perubahan melalui inovasi dan desain produk, meningkatkan proses produksi dan manajemen rantai pasokan, serta memikirkan kembali model bisnis mereka agar selaras dengan tujuan keberlanjutan. Inovasi ini penting dalam menghadapi tantangan konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan.
Kedua, adanya pengaruh pilihan (choice influencing), di mana bisnis dapat secara aktif membentuk perilaku konsumen dengan membantu mereka menemukan, memilih, dan menggunakan produk yang berkelanjutan. Hal ini melibatkan penetapan yang tepat melalui komunikasi pemasaran yang menekankan keberlanjutan, memastikan konsumen mendapatkan informasi yang baik dan termotivasi untuk membuat pilihan ramah lingkungan.
Sementara pengaturan pilihan (choice editing) merupakan strategi di mana bisnis mengontrol elemen-elemen produk mereka, seperti menghilangkan komponen atau bahan yang berbahaya bagi lingkungan atau kesehatan manusia. Dengan cara ini, perusahaan dapat membimbing konsumen menuju konsumsi yang lebih berkelanjutan, bahkan jika konsumen tidak secara eksplisit mencarinya.
Pendekatan-pendekatan ini menyoroti peran proaktif yang dapat diambil oleh bisnis dalam menanamkan keberlanjutan, mulai dari inovasi hingga memengaruhi perilaku konsumen, memastikan bahwa baik produk maupun proses bisnis selaras dengan masa depan yang berkelanjutan.
Watkins dan Fasya menekankan, ancaman terbesar terhadap keberlanjutan adalah konsumsi berlebihan yang didorong oleh pertumbuhan populasi dan kemakmuran global. Namun, baik konsumen maupun bisnis dapat mengambil langkah nyata menuju pembangunan masa depan yang berkelanjutan dengan memikirkan kembali sistem ekonomi, infrastruktur, dan hubungan kekuasaan.