Perusahaan sosial (social enterprises) semakin berkembang di berbagai belaha dunia. Bisnis ini memiliki keunikan karena sifatnya yang memadukan unsur bisnis dan kontribusi sosial untuk mencapai tujuan sosial dan lingkungan yang lebih luas.
Senior Advisor di Social Investment Indonesia, Sonny Sukada, menyebut sebagai organisasi, perusahaan sosial bertujuan untuk memecahkan masalah sosial atau lingkungan sambil beroperasi seperti bisnis tradisional, menghasilkan uang, dan memiliki pegawai. Tidak seperti usaha komersial pada umumnya, perusahaan sosial menekankan produk dan layanan yang etis, menginvestasikan kembali keuntungan ke dalam komunitas dan tujuan yang mereka dukung. Model ini menyerukan pendekatan yang lebih terintegrasi, yang mendorong kolaborasi antara pemangku kepentingan lintas disiplin ilmu.
“Harus ada kolaborasi lokal dan global dari ekonomi ke lingkungan dan sebaliknya,” kata Sony saat berbicara dalam Avirama Talks pada Jumat (4/10).
Diskusi ini merupakan rangkaian webinar dalam Anugerah Avirama Nawasena, penghargaan tentang keberlanjutan (ESG) yang diselenggarakan oleh Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung. Diskusi ini mengupas tuntas peran kewirausahaan sosial yang terus berkembang dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
Salah satu contoh perusahaan sosial itu adalah program seperti FAM Rural, yang mendukung masyarakat pedesaan dengan menyediakan akses pasar dan pengembangan kapasitas. Progrma ini ingin menunjukkan potensi masyarakat desa. Dengan menawarkan pelatihan ketahanan finansial dan penelitian kolaboratif, FAM Rural telah membantu lebih dari 650 usaha sosial di Indonesia di 23 provinsi.
“Usaha sosial membutuhkan dukungan ekosistem, sistem holistik tempat akademisi, investor, dan pembuat kebijakan mendukung kebangkitan model bisnis baru ini,” kata Henny Rahmawati Putri, Senior Project Associate di PLUS (Platform Usaha Sosial).
Modal menjadi salah satu tantangan terbesar bagi usaha sosial. Banyak pengusaha kesulitan mengakses pendanaan karena model bisnis mereka yang tidak berbasis aset atau kurangnya pengalaman berurusan dengan investor.
Angel investor dan impact investor memainkan peran penting dalam ekosistem ini dengan menyediakan modal yang diperlukan agar usaha-usaha ini dapat berkembang. Namun, penting bagi wirausahawan sosial untuk mengatasi akar penyebab masalah sosial guna menciptakan dampak yang berkelanjutan. Ketika masalah yang lebih dalam ini ditangani, produk dan layanan dapat menjadi lebih menarik bagi konsumen yang ingin mendukung perubahan sosial.
Untuk itu, Saskia P. Tjokro, Director of Advisory ANGIN, menyarankan wirausahawan sosial untuk mendasarkan bisnis mereka pada masalah yang dihadapi.
“Jika masalah yang Anda bawa menyakitkan, orang lain akan mau membantu Anda,” kata Saskia.
Ia mengatakan konsumen lebih bersedia membeli dari bisnis yang dapat menyelesaikan masalah yang signifikan bagi mereka.
Setelah diskusi kedua, SBM ITB akan menggelar webinar keberlanjutan berikutnya selama proses pendaftaran Augerah Avirama Nawasena. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi @aan.sbmitb di instagram.