Fraud alias kecurangan dalam organisasi sering terjadi karena adanya tekanan, peluang, dan pembenaran yang dirasionalisasi oleh pelaku. Untuk itulah diperlukan audit investigasi, yang mengungkap kecurangan-kecurangan tersebut.
Berbeda dengan audit biasa, audit investigatif adalah proses pemeriksaan dan pengumpulan bukti untuk mendeteksi penyimpangan agar dapat ditindaklanjuti secara hukum. Demikian disampaikan Auditor Madya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Tuti Susilawati, SE., AK., MM., Mak., APT., CA, saat membagikan pengalamannya dalam mengungkap kecurangan (fraud) melalui audit investigatif dalam kuliah tamu Financial Audit and Control di Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) pada Senin (14/10).
Menurut Tuti, metodologi audit investigatif terdiri dari beberapa tahap utama. Tahap awal, yaitu Pre-Planning, melibatkan analisis 5W + 1H untuk menentukan apakah kasus layak diaudit. Pada tahap Audit Planning, auditor menyusun hipotesis, menetapkan ruang lingkup, dan mengalokasikan waktu serta sumber daya.
Tahap berikutnya adalah Proses Evidence Collection, yang mencakup pemeriksaan fisik, wawancara, konfirmasi, inspeksi dokumen, dan observasi langsung. Selanjutnya, bukti-bukti yang sudah terkumpul itu dievaluasi untuk memastikan relevansi, kompetensi, dan kecukupannya. Tahap akhir adalah Reporting and Follow-up, di mana auditor mempresentasikan fakta secara objektif dan memberikan rekomendasi mitigasi risiko.
“Penting untuk menyusun bukti dengan rapi agar fakta dapat menggantikan tuduhan. Auditor harus cermat dalam mengembangkan strategi pencarian data,” jelas Tuti.
Tuti juga menjelaskan bahwa pengumpulan bukti memerlukan waktu, kualitas, dan biaya yang seimbang. Tenggat yang ketat sering kali menjadi tantangan, sehingga auditor harus bekerja cepat dan tepat. Elemen relevansi, kompetensi, dan kecukupan bukti sudah menjadi standar dalam lembaga pemerintah dan penerapan Good Corporate Governance. Ia menekankan pentingnya wawancara terstruktur dalam investigasi.
“Waktu wawancara terbatas, berbeda dengan percakapan biasa. Jadi wawancara harus terstruktur, fokus, dan efisien agar semua informasi penting dapat diperoleh sesuai tujuan awal,” ujarnya.
Strategi wawancara dimulai dengan pengecekan pihak terkait, seperti informasi pribadi, perusahaan, saksi netral, saksi kolaboratif, hingga co-conspirators, sebelum beralih ke subjek utama. Pendekatan ini dilakukan untuk menghindari wawancara yang tidak efektif, karena pelaku biasanya tidak langsung mengakui kesalahan. Menutup sesi, Tuti memberikan pesan kepada mahasiswa SBM ITB.
“Ketika kalian menjadi pemimpin nanti, jadilah sosok yang berpengetahuan dan bertanggung jawab. Memahami konsep proxy akan melindungi kalian dari manipulasi pihak eksternal.”