Kehilangan pangan umumnya terjadi di tingkat pertanian dan distribusi, menyebabkan tantangan besar dalam menjaga keberlanjutan sistem pangan global. Faktor lainnya, adalah peningkatan permintaan, perubahan perilaku konsumen, hingga perubahan iklim. 

Untuk itu, PT Berdikari, yang dibangun dengan tujuan menjaga ketahanan pangan nasional di bawah Kementerian Sekretariat Negara (Mensestek), telah memutuskan untuk fokus pada core business di sektor peternakan sejak tahun 2000. Keputusan ini diambil karena Berdikari memiliki keunggulan kompetitif di bidang tersebut. 

“Berdikari telah melakukan banyak inovasi dan kerjasama untuk melakukan pengolahan pangan demi mendukung kedaulatan pangan,” kata General Manager Corporate Secretary & Social Responsibility at PT. Berdikari, AS. Hasbi Al-Islahi, saat mengisi seminar Indusry Based Learning bagi mahasiswa Magister Administrasi Bisnis SBM ITB pada pada Jumat (25/10). 

Menurut Hasbi, dalam upaya memperkuat posisinya, Berdikari juga melakukan transformasi korporasi yang meliputi dua aspek utama, yaitu transformasi bisnis dan transformasi sumber daya manusia (SDM). Transformasi ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan daya saing perusahaan di tingkat nasional.

Hasbi memaparkan bahwa PT Berdikari telah membuat skema kerja bersama penyediaan bakalan (bibit), penyediaan pakan konsentrat, pendampingan pemeliharaan ternak, dan offtaker. Sebagai mitra, mereka juga melakukan penyediaan terkait kandang dan peralatan, tenaga kerja, dan pakan hijauan. Adapun kemitraan lainnya dalam bentuk pemeliharaan ternak dan penjualan ternak untuk mendapatkan profit sharing. 

Menurut Hasbi, tantangan besar dalam memastikan ketahanan pangan, kualitas nutrisi, dan keberlanjutan di sektor daging sapi di Indonesia semakin memengaruhi pasar lokal. Produksi daging sapi Indonesia hanya mampu memenuhi 57% dari kebutuhan. Sementara 43% sisanya dipenuhi melalui impor untuk mencukupi konsumsi tahunan yang mencapai sekitar 700.000 ton. Ketergantungan akan impor itu terjadi karena kurangnya infrastruktur produksi, fasilitas pendukung, serta dominasi peternakan skala kecil yang menyulitkan produksi daging sapi yang berkelanjutan dan berskala besar.

Hasbi mengatakan, investasi pada sektor gizi merupakan hal yang substansial bagi masyarakat Indonesia. Konsumsi susu dipandang penting sebagai investasi gizi dalam upaya menekan angka stunting nasional, yang saat ini menempatkan Indonesia di posisi keempat dunia. 

Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting dari 37% menjadi 14% melalui peningkatan asupan gizi, salah satunya dengan mendorong konsumsi susu segar sebagai langkah strategis. Namun, rendahnya populasi sapi perah menghambat pemenuhan kebutuhan ini. Dengan demikian, peningkatan produksi susu domestik menjadi kunci dalam mengurangi ketergantungan impor dan mendukung program pencegahan stunting di Indonesia.

Kontributor: Hilda Zulfa Hayuni, MBA YP 2024