Langkah transformatif diperlukan untuk mencapai net zero emission pada tahun 2050. Sebab perubahan iklim akibat kenaikan suhu global membutuhkan perhatian khusus. Untuk itu, bisnis saat ini tidak lagi bisa hanya berfokus pada profit. 

Kita juga harus memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, dan manusia,” kata Suripno, Vice President Sustainability Strategy PT Pertamina (Persero), dalam diskusi bertajuk “Lighting the Way for a Sustainable Energy Future in Indonesia” yang digelar oleh SBM ITB di Bandung pada Kamis (12/12). 

Bisnis yang memperhatikan tiga aspek tersebut adalah bisnis yang punya wawasan berkelanjutan. Menurut Suripno, dalam topik keberlanjutan, terdapat tiga elemen esensial yang menjadi kunci dalam transisi energi, yakni energy security, energy equality, dan sustainability. Untuk itu Suripno mengungkapkan pentingnya transparansi dan komitmen terhadap keberlanjutan di era modern. 

“Investor kini tidak hanya melihat laporan keuangan, tetapi juga laporan keberlanjutan perusahaan sebelum mengambil keputusan,” kata dia.  

Menurut Suripno, Pertamina melakukan strategi integrasi dengan anak perusahaan sehingga hal tersebut menjadi kunci Pertamina dalam menghadapi tantangan transisi energi. Strategi keberlanjutan Pertamina didasarkan pada prinsip PDCA (Plan, Do, Check, Act) yang menjamin proses berkelanjutan di setiap langkah bisnis.

Dalam rangka mendukung upaya global menciptakan lingkungan yang lebih baik, kata Suripno, Pertamina telah menetapkan sejumlah langkah strategis yang menjadi fokus utama perusahaan, berupa pengurangan emisi scope satu dan dua, pengurangan emisi metana, penghapusan zero routine flaring, dan revenue mix hijau. Selain itu, terdapat rencana strategis yang akan dilakukan PT Pertamina dalam lima tahun kedepan dalam mengembangkan low carbon energy, and carbon trade, berupa pengembangan kapasitas gas to power, beralih ke pengembangan energi terbarukan, dan produksi baterai. Untuk carbon trade sendiri PT Pertamina mengembangkan solusi berbasis alam serta melakukan perdagangan kredit karbon.

Suripno menekankan pentingnya keberlanjutan sebagai inti dari setiap aktivitas bisnis Pertamina. Komitmen ini menjadikan Pertamina sebagai pelopor dalam transisi energi di Indonesia, sekaligus memastikan perusahaan tetap kompetitif di pasar global dengan strategi berbasis keberlanjutan.

“Jika Pertamina tidak mengintegrasikan keberlanjutan dalam setiap aktivitasnya, kami akan kehilangan market size di masa mendatang,” ungkapnya.

Namun demikian, Suripno mengatakan rendahnya bisnis karbon karena prosesnya belum terintegrasi. Pertamina, kata dia, sudah mulai menerapkan langkah-langkah seperti carbon credit trading dan nature-based solutions (NBS), tetapi inisiatif ini masih dalam tahap pengembangan. 

Di sisi lain, negara-negara tetangga sudah memiliki regulasi yang lebih matang, ekosistem perdagangan karbon yang lebih terintegrasi, dan jaringan internasional yang mendukung. Untuk itu Indonesia perlu terus meningkatkan kapasitasnya melalui kolaborasi, serta melakukan pengembangan teknologi berbasis karbon rendah, dan penyelarasan strategi.

Suripno menekankan Pertamina memiliki komitmen ambisius untuk mencapai Net Zero Emission. Strategi dual growth—melalui energi rendah karbon dan bisnis karbon—menjadi landasan utama keberhasilan ini. Integrasi risiko dan peluang terkait iklim ke dalam strategi perusahaan pun menjadi langkah signifikan yang memperkuat daya saing Pertamina di pasar global. Dengan langkah-langkah ini, Pertamina optimis dapat berkontribusi dalam mencapai target global, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam transisi energi berkelanjutan.

Kontributor: Dio Hari Syahputra, Manajemen 2026