Dunia perlu segera bertindak dengan kebijakan transformatif untuk mewujudkan transisi energi berkelanjutan. Profesor Shawn Mu, seorang pakar ekonomi energi dari University of Dundee, Skotlandia, menekankan bagaimana evolusi konsumsi energi yang dipicu oleh industrialisasi sejak abad ke-19 telah menyakiti bumi.
“Peningkatan konsumsi energi global saat ini bagaikan bom waktu yang berdetak,” kata Shawn saat mengisi kuliah tamu bertajuk “Economics of Energy Transition” yang diselenggarakan oleh SBM ITB pada Kamis (20/2).
Shawn, yang juga menjabat sebagai Direktur Centre for Energy, Petroleum and Mineral Law and Policy (CEPMLP) University of Dundee, memperingatkan para mahasiswa dan akademisi SBM ITB yang hadir bahwa konsumsi energi fosil berlebih mengancam kelangsungan hidup planet jika tidak segera diimbangi dengan transisi signifikan menuju energi rendah karbon. Meskipun mencatat kemajuan positif dengan 15% konsumsi energi global kini bersumber dari energi bersih, Shawn menegaskan bahwa proporsi ini masih jauh dari memadai.
Shawn kemudian menyoroti paradoks antara densitas energi bahan bakar fosil yang superior dan kebutuhan mendesak untuk beralih ke energi bersih. Ia membandingkan densitas energi minyak bumi yang jauh melebihi biomassa, serta keunggulan bensin atau diesel yang memiliki kepadatan energi 50 hingga 100 kali lipat dibandingkan baterai litium-ion.
“Kendaraan listrik memang menawarkan efisiensi yang lebih tinggi, mencapai 77 persen berbanding 12-30 persen pada mobil berbahan bakar bensin. Namun, ketergantungan pada baterai tetap menjadi tantangan yang perlu diatasi,” jelasnya.
Menurut Shawn, lonjakan suhu global sudah mencemaskan, dengan 18 dari 19 tahun terpanas tercatat sejak tahun 2001. Sektor energi bertanggung jawab atas 73,2% emisi gas rumah kaca global.
“Kebijakan iklim yang paling efektif adalah kebijakan yang mampu memaksimalkan manfaat sosial bersih dari karbon,” serunya.
Di tengah tantangan besar dalam transisi energi, Shawn menyampaikan adanya harapan. Ia merujuk pada proyeksi BP Energy Outlook 2023 yang menggambarkan beragam skenario transisi energi hingga tahun 2050, serta tren elektrifikasi global yang terus menguat. Penurunan biaya baterai litium-ion juga dipandang sebagai katalis positif bagi perkembangan energi bersih.
Namun demikian, Shawn tidak menyangkal kompleksitas transisi energi, termasuk implikasi kebijakan dan dinamika pasar global yang terlibat. Ia mengutip pandangan Kenneth Rogoff, seorang ekonomi dan grand master catur asal Amerika Serikat, mengenai potensi rencana energi Amerika Serikat yang dapat menghambat inisiatif gerakan hijau di Eropa, serta kinerja saham perusahaan minyak internasional yang terus menjadi perhatian pelaku pasar.
“Transisi energi bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari,” ujar Shawn.
Ia menekankan urgensi untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan agenda perubahan iklim, dengan fokus utama pada mitigasi perubahan iklim, pengembangan energi terbarukan, dan elektrifikasi sebagai pilar utama.
