Asuransi dan manajemen risiko adalah dua hal yang saling berhubungan erat. Setiap negara selalu punya kerentanan dan risiko dalam industri asuransinya. Namun menurut Direktur Indonesia Financial Group (IFG), Rianto Ahmadi, pendekatan berbasis probabilitas dapat diterapkan untuk mengelola potensi risiko tersebut.
Menurut Rianto, manajemen risiko modern melibatkan proses identifikasi, yaitu menentukan risiko potensial dalam suatu organisasi; kuantifikasi, yaitu mengukur besarnya risiko tersebut; dan mitigasi, menerapkan strategi untuk meminimalkan dampak risiko.
Rianto menambahkan, ada dua jenis risiko, yaitu “risiko mentah” dengan “risiko residual”. Yang terakhir adalah risiko yang tersisa setelah upaya mitigasi. Asuransi, kata dia, berfungsi sebagai mekanisme utama untuk mentransfer risiko residual.
Rianto membeberkan manajemen risiko dalam industri asuransi tersebut saat mengisi kuliah tamu Integrated Business Experience (IBE) II yang digelar oleh Prodi Manajemen Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung di Bandung (25/2).
IFG merupakan badan usaha milik negara yang menjadi induk sejumlah BUMN sektor asuransi dan keuangan non bank. Didirikan pada tahun 2020, alasan utama pendirian IFG adalah untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Jiwasraya dan untuk mengamankan perlindungan bagi mereka yang memegang polisnya. Menurut Kepala IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman, IFG berperan menangkal kerentanan berbagai risiko di Indonesia.
“Dalam jaringan operasi bisnis yang rumit, terutama di negara seperti Indonesia, kerentanan terhadap berbagai risiko tidak dapat disangkal,” kata Ibrahim. “Para profesional dituntut untuk memiliki pemahaman mendalam mengenai risiko yang terkait dengan industri masing-masing, kebutuhan akan mekanisme transfer risiko yang kuat sangat penting.”
Sementara itu, menurut Peneliti IFG Progress Alvin Prabowosunu, yang turut mengisi kuliah tamu bersama Rianto dan Ibrahim, penetrasi premi asuransi di Indonesia masih tertinggal dari Filipina. Meskipun PDB Indonesia lebih unggul dari negara tetangga tersebut.
“Tujuan kita seharusnya adalah mencapai inklusivitas yang sebanding di semua sektor keuangan. Ini dapat dicapai dengan memperkuat literasi publik dan daya beli,” kata Alvin.
Kepala Strategi Digital di IFG Progress Dhinda Arisyiya, mengatakan, untuk memperkuat penetrasi industri asuransi, dibutuhkan berbagai strategi. Mulai dari menambah jumlah aktuaris bersertifikat hingga metode penjualan polis.
“Dalam bidang penjualan asuransi, komunikasi dari mulut ke mulut terus mendominasi,” kata Dhinda. “Ini menggarisbawahi pentingnya hubungan pribadi dan kepercayaan dalam industri ini.”

