Cuaca dan iklim kita hari ini sangat mudah berubah dan tidak dapat diprediksi. Bagaimana nasib petani Indonesia menghadapi ketidakpastian ini? Solusinya adalah pengairan yang tepat guna lewat utilisasi teknologi perangkat sensor dan internet of things.
Untuk memahami seluk beluk teknologi berikut komersialisasinya, SBM ITB mengundang Co-founder sekaligus CTO PT BIOPS Agrotekno Indonesia Nugroho Hari Wibowo pada Selasa (5/4/2022) sebagai dosen tamu.
“Dalam industri 4.0, kita berfokus bukan hanya pada automasi, tetapi juga pada pertukaran data antar perangkat. Kami disini hadir untuk membantu petani dalam memberikan sistem penyiraman tanaman yang terautomasi dengan cara mengkolaborasikan berbagai perangkat teknologi di dalamnya,” kata alumni Teknik Fisika ITB pada 2010 itu.
Perangkat pertama adalah sensor untuk mengambil data suhu, cahaya dan kelembaban yang ada di lapangan. Perangkat kedua merupakan perangkat sistemasi penerimaan data dan pengolahan algorima. Terakhir adalah perangkat penyiraman yang telah disesuaikan dengan Analisa data yang terkumpul.
Dengan alat automasi bernama Encomotion ini, Nugroho mengklaim dapat meningkatkan efektiifitas dan efisiensi pengairan berdasarkan kondisi lingkungan tanaman yang berbeda. Hasil akhirnya adalah peningkatan produktifitas hingga 40%, penghematan biaya operasional sebesar 50% dan penghematan air dan pupuk hingga 40%. Teknologi ini akan sangat meringankan tugas petani yang kurang memiliki akses terhadap pengetahuan ilmiah. Selain itu, bisa sangat membantu usaha pertanian yang memiliki lahan luas hingga berhektar-hektar.
Problematika Agrikultur Lainnya.
Selain masalah irigasi yang telah ditangani, PT BIOPS Agrotekno Indonesia juga terus mengembangkan lini usahanya berdasarkan problem yang dekat dengan para petani. Seperti penggunaan cahaya buatan untuk peningkatkan metabolisme tanaman, optimalisasi penggunaan pupuk dan yang paling penting adalah meminimalisir penggunaan pestisida dan insektisida yang berdampak bagi manusia dan lingkungan.
“Mereka sangat sadar bahwa penggunaan pestisida itu berbahaya baik untuk diri mereka, orang lain maupun makhluk hidup lainnya. Pada saat menyemprotkan pestisida dan insektisida tanpa masker, sarung tangan dan jas hujan, mereka mengalami iritasi. Walaupun begitu, mereka tetap menggunakan pestisida kimiawi disertai dengan beban ongkos yang besar dengan pertimbangan jaminan presentase panen petani yang lebih besar.” ujar Nugroho.
Mari terus berharap semoga kedepannya, Indonesia bisa berswasembada pangan dan terus dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya pada saat terjadi bonus demografi lewat penggunaan teknologi dalam sektor pertanian.