Bandung 31 Mei 2022, Perusahaan bisa memanfaatkan karyawan sebagai influencer untuk memajukan bisnis perusahaan. Karyawan yang bertindak sebagai influencer bisa menciptakan keterlibatan dan dukungan pelanggan, bahkan prospek penjualan, dan informasi manajemen (seperti opini tentang produk dan perusahaan keputusan).
Hal itu terungkap dari hasil riset kolaborasi antara School of Business and Management (SBM), Institut Teknologi Bandung dan Huddersfield Business School, The University of Huddersfield yang mengeksplorasi bagaimana Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia memilih dan mengelola employee influencers mereka. Penelitian yang didanai oleh SBM ITB International Join Research Grant mengungkapkan bahwa keterlibatan employee influencers adalah sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh organisasi. Hal ini harus dilakukan dengan memperhatikan apa yang menarik bagi pelanggan dan kebutuhan employee influencers, termasuk kebutuhan mereka untuk tetap harus menampilkan authenticity dan kebutuhan mereka untuk ‘dikelola’ secara profesional dan dipahami dengan baik perannya serta didukung secara aktif.
Penelitian ini dilakukan oleh 4 orang periset dari akademisi dan 1 orang praktisi, N.Nurlaela Arief selaku ketua tim riset dari SBM ITB, dengan rekan penulis Prof. Anne Gregory dari Huddersfield Business School, The University of Huddersfield, Aria Bayu Pangestu dari SBM ITB, Dany Muhammad Athory Ramdlany dari SBM ITB, dan I Made Ariya Sanjaya dari Kazee.
Peneliti mengimplementasikan analisis konten pada aktivitas media sosial employee influencers BUMN di platform Instagram dengan pengumpulan data optimasi big data sejak 2018-2020. Juga dilakukan FGD secara online sebanyak 2 kali dengan total 22 influencer karyawan dari sebelas (11) industri strategis BUMN Indonesia.
Riset mengungkapkan bahwa perusahaan harus mengetahui dan memberikan panduan tentang efektivitas keterlibatan influencer. Efektivitasnya sangat dipengaruhi oleh konten dasar postingan dari employee influencers. Yang paling jelas, konten influencer yang sesuai dengan minat followers-nya menjadi hal yang sangat penting dan apalagi ketika minat followers bertepatan dengan produk atau layanan BUMN, keterlibatan dan respon yang lebih tinggi akan muncul
“Disarankan ketika influencer memposting tentang organisasi mereka, itu harus selaras dengan bisnis BUMN. Misalnya, influencer dari sektor aviasi, elektrifikasi, transportasi, infrastruktur, ketika menunjukan bahwa posting yang lebih menampilkan visual yang menantang, pekerjaan yg penuh risiko, tidak dapat dijangkau oleh publik mendapatkan engagement yang tinggi” kata Nurlaela.
Riset ini juga menunjukkan bahwa engagement yang tinggi berasal dari postingan yang sesuai dengan minat influencer dan followers, dan pada saat yang sama memuat informasi yang cukup dan menarik tentang BUMN. Selain itu, temuan penelitian menunjukkan bahwa keragaman konten, kreativitas, dan tautan yang relevan dengan perusahaan pada dasarnya merupakan hal yang penting. Konten informatif saja tidak cukup untuk mendorong keterlibatan yang baik.
Dalam kajian literatur, riset ini berkontribusi dalam pengetahuan saat ini dengan memperluas pemikiran. Riset ini telah memperkenalkan istilah ’employee influencers’ dan membedakan mereka dari ’employee advocates”. Selain itu, riset menemukan bahwa manajemen employee influencers di BUMN Indonesia perlu menjaga hubungan otentik karyawan mereka dengan followers-nya.
Dukungan untuk employee influencers juga dapat dilakukan manajemen dengan memberikan pelatihan; menyediakan materi seperti disain visual, video dan panduan untuk diposting; pengakuan bahwa reputasi pribadi atau personal branding mereka sendiri untuk menjaga otentisitas harus dipertahankan; dan, yang terpenting, pengakuan atas kontribusi mereka. Sangat menarik bahwa bayaran bukanlah motivator utama bagi employee influencers. Namun apresiasi lain yang bisa diberikan. Mengingat respondent dalam riset ini adalah kaum Milenial, tampaknya hal yang memotivasi mereka adalah networking dan kesempatan untuk memberikan influence dengan komunitas lain. Ini menunjukan penciptaan modal sosial dan kesempatan untuk mendapatkan pelatihan dan peluang untuk kemajuan yang mengarah pada karir. Akhirnya, jelas bahwa kepuasan kerja dan aktualisasi diri adalah elemen penting.
Professor Anne Gregory, dari Huddersfield Business School menambahkan, Penelitian ini menghasilkan model teoretis yang memberikan informasi proses pengelolaan employee influencers dan dapat diimplementasikan dalam perusahaan. Model tersebut terdiri dari hub komunikasi yang bertindak sebagai enabler dan fasilitator yang dapat melayani dan menengahi kepentingan dan kebutuhan influencer dan BUMN. Secara praktis, ini berarti employee influencers diberikan panduan dan prosedur operasi standar (SOP) oleh pusat komunikasi yang juga menyediakan informasi dan konten yang dapat diposting atau dibagikan melalui media sosial dan saran tentang cara melakukannya secara efektif.
Panduan dan SOP juga merupakan ‘langkah keamanan’ penting yang memastikan bahwa pemberi pengaruh tidak mendistribusikan informasi yang dibatasi atau rahasia tentang perusahaan. Ini tidak berarti bahwa perusahaan memiliki kendali penuh atas media sosial employee influencers: mereka memiliki kebebasan untuk membagikan atau memposting informasi perusahaan sesuai dengan pedoman dan dengan memperhatikan pengetahuan mereka tentang followers mereka.
Sharing hasil riset ini disosialisasikan bekerja sama dengan PERHUMAS dan dihadiri oleh Ketua Umum, Boy Kelana Soebroto, menurut Boy hasil riset sangat bermanfaat dan dapat diaplikasikan untuk praktisi PR di Indonesia untuk mengembangkan strategi komunikasi internal yang strategic dan berdampak.