Setelah mengalami pertumbuhan yang pesat selama satu dekade terakhir, perusahaan rintisan di Indonesia menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang ironisnya terjadi pada saat badai pandemi mulai reda. Perusahaan rintisan (start-up) di Indonesia awalnya berkembang awal tahun 2010. Kementerian Komunikasi dan Informatika memperkirakan jumlah usaha rintisan di Indonesia pada tahun 2019 sekitar 2.193 unit. Angka ini membuat Indonesia menjadi negara dengan jumlah bisnis rintisan terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat, India, Inggris, dan Kanada. Bahkan bisnis berbasis digital menjadi peluang baru di sektor perdagangan elektronik yang meningkatkan perekonomian Indonesia. Beberapa bisnis rintisan Indonesia telah mampu menjadi kelas unicorn antara lain Traveloka, Kopi Kenangan, dan Bukalapak.
Masa pandemi memicu kebutuhan teknologi tanpa sentuhan (low touch tech) yang membuat usaha rintisan mampu bertahan dan bahkan bertumbuh. Namun periode promosi yang dikenal dengan fenomena bakar uang telah berakhir dan bisnis rintisan dihadapkan pada kenyataan untuk mengembalikan modal yang sudah digelontorkan oleh investor. Masa euforia telah berakhir ditandai dengan fenomena gelembung pecah (bubble burst) pada ekonomi digital yang awalnya melaju dengan pesat dan merosot drastis. Beberapa bisnis rintisan telah melakukan pemangkasan ratusan karyawan secara massal seperti dompet digital LinkAja, edtech Zenius, jasa ekspedisi SiCepat, dan platform e-commerce JD.ID.
Pemutusan hubungan kerja secara global menunjukkan situasi yang lebih buruk. Menurut pelacak Layoffs.fyi, 20.514 orang telah kehilangan pekerjaan di perusahaan rintisan teknologi secara global sejak bulan April lalu. Rintisan di semua sektor, dari perawatan kesehatan, perangkat lunak sebagai layanan, travel, edukasi, pembayaran, hingga perusahaan kripto, memberhentikan sebagian staf dan menghadapi masa ketidakpastian dengan pasar yang sulit.
Menengarai peristiwa gelembung pecah, Togar Simatupang, pakar sistem rantai pasokan SBM ITB, menyatakan bahwa telah muncul babak baru bagi bisnis rintisan yang kini menghadapi persaingan yang lebih ketat dalam menarik investor dan pelanggan, pemanfaatan teknologi yang lebih cerdas dan tepat guna, dan semakin ketatnya investor dalam menyalurkan modalnya. Era investor yang bermurah hati dan pertumbuhan sudah berlalu. “Episode baru ini memerlukan kemampuan untuk menjamin pendapatan riil dengan kemampuan daya lenting (resiliensi) dan daya inovasi. Investor menuntut pengembalian terhadap model yang ditanamkan dan perusahaan yang mempu menjaga pendapatan yang konsistenlah yang dapat bertahan dan sebagian perlu berputar haluan dengan layanan baru karena sulit mengejar pemain utama yang jauh di depan.” imbuh Togar.
Pemain-pemain yang tertinggal perlu mengenal kekuatan dan keunikannya karena monetisasi menjadi sesuai yang dituntut oleh investor. Meskipun ketersediaan modal tetap ada, namun tidak semudah pada tahap awal pengembangan bisnis rintisan digital. Selain itu, perusahaan yang mandeg menghasilan pendapatan riil tidak akan mendapatkan bantuan modal seperti sebelumnya dan akhirnya akan terus memberhentikan karyawannya dan bisa jadi akan bangkrut. Perusahaan rintisan akan melalui jalan semakin terjal dengan adanya bayang-bayang stagflasi secara global.
Menurut Wawan Dhewanto, Profesor Kewirausahaan SBM ITB, fenomena start-up bubble ini mirip dengan fenomena dot.com bubble yang terjadi pada awal tahun 2000an.
Pada awalnya, ekspektasi investor terhadap perusahaan dot.com sangat tinggi, sehingga nilai pasar perusahaan dot.com meningkat tajam (dot.com bubble). Setelah beberapa waktu, investor bersikap lebih rasional, sehingga beberapa perusahaan dot.com tumbang sedangkan beberapa dot.com yang mampu memberikan solusi bagi pasar bertahan sampai dengan saat ini.
Hal yang mirip terjadi saat ini. Pada awalnya ekspektasi investor terhadap perusahaan start-up sangat tinggi, sehingga membuat valuasi start-up sangat tinggi (start-up bubble).
Saat ini, secara umum industri start-up akan terus tumbuh, tetapi laju pertumbuhannya tidak akan setinggi sebelumnya.
Investor akan lebih hati-hati melihat model bisnis yang dimiliki start-up. Start-up yang bertahan adalah start-up yang memiliki model bisnis yang tepat, yang mampu menghasilkan solusi yang sesuai dengan kebutuhan pasar (product-market fit).
Selain itu, start-up yang bertahan adalah start-up yang mampu mengadaptasi model bisnis sesuai dengan dinamika pasar (business model pivot). Start-up yang memiliki model bisnis yang tepat ini diharapkan akan mampu memonetisasi solusi yang ditawarkan kepada pasar.