SBM ITB mengundang Dr. Hassan Wirajuda, politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai menteri luar negeri Indonesia sejak 2001 hingga 2009 dan pengajar di SBM ITB International Virtual Course pada Selasa (19/7/2022).
Dr. Hassan Wirajuda pernah menjabat beberapa jabatan penting antara lain Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (Juli 2000 – Agustus 2001), Duta Besar dan Wakil Tetap untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi Internasional lainnya di Jenewa (Desember 21990 – Juli 2000 ), Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Mesir (Oktober 1997 – Desember 1998), dan Direktur Organisasi Internasional Departemen Luar Negeri (1993 – 1997).
Dalam kuliahnya, Dr. Hassan Wirajuda menjelaskan tentang soft power dan hard power, termasuk hard dan soft power di Indonesia. Ia mencontohkan soft power dengan tren K-Pop dan Hollywood, dan hard power dengan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sebagai peluang yang baik untuk meningkatkan potensi. Selain memberikan kuliah, Hassan Wirajuda juga melakukan sesi tanya jawab.
Pertanyaan pertama datang dari moderator sendiri, Ilma Zaim. “Seperti yang Anda katakan, tentang Manhattan Indonesian Restaurant yang kekurangan chef dan pramusaji terlatih dalam sumber daya manusia dan keterampilannya, apa solusi terbaik yang bisa diberikan pemerintah kepada pemilik restoran di luar negeri?” kata Ilma.
“Pertama, pendidikan dan pelatihan adalah faktor kuncinya,” kata Dr. Hassan.
Ia menyarankan pemerintah untuk membangun lebih banyak akademi seperti sekolah hotel dan restoran agar memiliki lulusan yang cukup untuk memperluas soft power Indonesia. “Dengan pelatihan yang lebih praktis, dimungkinkan untuk mendirikan politeknik gastro,” kata Dr. Hassan.
Pertanyaan kedua datang dari mahasiswa Indonesia yang hadir dalam kuliah tersebut. “Seberapa efektif beasiswa budaya dan seni Indonesia, dan organisasi seperti Saung Angklung Mang Ujo dalam pengembangan soft power Indonesia?” dia berkata. “Cukup efektif,” jawab Dr. Hassan.
Baginya, beasiswa dan organisasi ini memiliki efek jangka panjang pada soft power Indonesia. Untuk mencontohkan, Dr. Hassan mencontohkan Afrika Selatan. Afrika Selatan menghabiskan sepersepuluh dari pengeluarannya untuk operasi internasional, dan ini menjadikannya sebagai lima belas negara berkembang terbesar di dunia. Hal ini menjadi masalah bagi Indonesia karena Indonesia selalu melakukan diplomasi “tangan di bawah” dengan pinjaman luar negeri selama 30 tahun, dalam hal ideologi. “Namun, untuk meningkatkan soft power, kita harus memiliki kebijakan ‘tangan di atas’, memberi dan tidak menerima,” tutup Dr. Hassan.