Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak awal 2020 hingga 2022 memberikan banyak pengalaman kepada dunia bisnis. Salah satunya adalah bagaimana praktik merger dan akuisisi (M&A) berlangsung selama pandemi dan setelahnya. Isu tersebut jadi pembahasan pokok dalam kuliah tamu Freddy Soejandy, mata kuliah Manajemen Keuangan dan Kebijakan yang berlangsung di Amphitheatre 2, MBA ITB Bandung, pada Rabu (4/10).
Merger mengacu pada penggabungan dua perusahaan menjadi satu entitas. Seringkali caranya dengan menawarkan pemegang saham dari satu perusahaan sekuritas di perusahaan yang mengakuisisi untuk saham mereka.
Sementara akuisisi ditandai oleh satu perusahaan yang mengambil alih perusahaan lain. Perusahaan yang mengakuisisi menjadikan dirinya sebagai pemilik baru.
Ada sejumlah klasifikasi dalam M&A. Mulai dari merger horisontal (gabungan perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama), merger vertikal (integrasi perusahaan-perusahaan pada tahapan rantai pasokan yang berbeda), dan merger konglomerasi (gabungan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bisnis yang tidak terkait).
Terdapat berbagai motif di balik merger. Paling utama adalah motif pertumbuhan atau diversifikasi, di mana perusahaan melakukan merger untuk memasuki pasar baru, meningkatkan portofolio produk, atau memanfaatkan sinergi. Selain itu, merger dilakukan untuk meningkatkan pangsa pasar dengan menghilangkan persaingan dan akibatnya mengamankan dominasi pasar.
Efisiensi biaya adalah faktor pendorong lainnya. Dengan merger, skala ekonomi meningkat dan mengurangi biaya per unit melalui pemanfaatan sumber daya dan kemampuan bersama.
Merger dan akusisi membawa berbagai manfaat. Mulai dari peningkatan kehadiran pasar, peningkatan skala dan cakupan ekonomi, akses ke pasar dan saluran distribusi baru, serta pembagian risiko dan pengetahuan di antara entitas yang melakukan merger. Namun demikan, pasca pandemi yang rumit, pebisnis mesti memahami dan mendalami kembali strategi keuangan untuk menavigasi merger dan akuisis agar menghasilkan hasil yang optimal.