Semua bisnis memiliki risiko. Namun industri perbankan memiliki tingkat risiko yang tinggi. Oleh karena itu peraturannya sangat ketat dan manajemen risiko sebagai aspek fundamental dari sektor ini.
Salah satu risiko besar dalam sektor bisnis ini adalah potensi kredit macet. Setidaknya ada dua proses bisnis utama yang terlibat dalam pemberian kredit: pemasaran dan manajemen risiko. Pemasar mencari calon debitur, sedangkan manajer risiko menganalisis dan memverifikasi kelayakan nasabah untuk menerima pinjaman. Di bagian kedua inilah risiko-risiko ditimbang, terutama potensi gagal bayar sebuah kredit.
Demikian disampaikan oleh Erna Sari, Vice President of SME and Risk Group for Regional VI Bank Mandiri, saat memberikan kuliah tamu tentang “Komponen Risiko dalam Pinjaman Bank” pada mata kuliah Bank Management and Other Financial Services SBM ITB, 6/10.
Menurut Erna, tujuan utama pengelolaan risiko kredit adalah untuk menghindari pinjaman dengan kolektibilitas buruk. Seluruh bank wajib menyisihkan cadangan kerugian kredit yang disebut Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) untuk menambal kredit macet. Ketika kualitas pinjaman memburuk sampai macet, maka hal itu mesti dimasukkan dalam potensi kerugian sehingga nilai CKPN meningkat.
Langkah pertama dalam manajemen risiko kredit adalah mengumpulkan semua informasi yang diperlukan tentang pelanggan melalui proses yang disebut Know Your Customer (KYC). “Apa bidang usahanya. Dia punya pendapatan yang tetap atau tidak,” ujar Erna memberikan contoh pertanyaan untuk ditanyakan kepada nasabah dalam proses KYC.
Proses KYC juga mencakup orang-orang yang terkait dengan nasabah dan bisnis mereka. “Saya tahu rumahnya, saya tahu keluarganya, kalau ada masalah saya bisa komunikasi dengan dia,” lanjut Erna membeberkan alasan KYC sampai kepada orang-orang terdekat debitur.
Di era digital saat ini, kata Erna, perilaku keuangan nasabah dapat diketahui menggunakan Sistem Layanan Informasi Keuangan OJK (SLIK OJK) dan rekening koran. Menilai kelayakan pinjaman juga melibatkan evaluasi kinerja keuangan usaha. Pinjaman jangka pendek diberikan ‘melawan’ aset lancar seperti piutang, uang tunai, dan persediaan. Suatu bisnis dapat dinyatakan layak kredit jika jumlah aset lancarnya setidaknya 1,5 kali lipat dari pinjaman jangka pendeknya.
Kemampuan membayar hutang juga dievaluasi dengan menganalisis laporan arus kas dan likuiditas. Arus kas operasional yang positif menunjukkan kemampuan pembayaran yang baik.
Bahkan setelah proses analisis dan verifikasi yang ketat, gagal bayar kredit masih bisa terjadi. Sebelum terjadi gagal bayar, bank biasanya mencoba untuk restrukturisasi kredit dan menyesuaikan jumlah pinjaman, suku bunga, atau jangka waktu. Jika restrukturisasi gagal, bank memitigasi risiko tersebut dengan mengambil ‘second way out’.
‘Second way out’ mengacu kepada sumber pembayaran alternatif selain pendapatan usaha utama debitur, termasuk penjualan agunan, jaminan pihak ketiga, dan asuransi. Untuk mengurangi risiko, ujar Erna, bank mengalihkan sebagian beban risiko kepada peminjam. Hal ini diterjemahkan menjadi “risk rate” yang ditambahkan ke komponen suku bunga pinjaman. Risiko yang lebih besar menyebabkan suku bunga yang lebih tinggi.
Mengakhiri sesi, Erna menjelaskan kepada peserta kelas bahwa meskipun terdapat risiko dalam pemberian pinjaman, bank tetap mempunyai tanggung jawab untuk menyalurkan dana.
“Bank, khususnya bank BUMN, mempunyai tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan masyarakat,” tegasnya.
Artinya bank-bank milik negara harus mendukung pertumbuhan ekonomi melalui kegiatan pembiayaan dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional.