“Perubahan selalu ada,” demikian Riitta Lumme-Tuomala, Senior Advisor of Aalto University Executive Education, membuka materinya pada webinar SBM ITB bertajuk “Future of Work and The Crucial Role of Talent” pada Selasa (7/5).

Revolusi Industri ke-4 ditandai dengan mesin yang mulai menggantikan proses berpikir manusia. Akibatnya pekerja dipaksa untuk mengembangkan keterampilan unik untuk mempertahankan posisinya di industri. Evolusi teknologi ini semakin dipercepat dengan adanya pandemi COVID-19.

Dunia yang berubah dengan cepat ini membuat konsep VUCA (volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity) berkembang menjadi BANI (brittle, anxious, non-linear, dan incomprehensible). Konsep ini menjelaskan bahwa dunia semakin membingungkan, dan para pemimpin harus meningkatkan simpati, memahami bahwa para pekerja di bawah kepemimpinan mereka tidak hanya memiliki kapasitas dan keterampilan, namun juga kekhawatiran dan keterbatasan.

Beberapa fenomena telah terlihat dalam dunia profesional pada beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah “quite quitting (berhenti secara diam-diam)”. Berhenti secara diam-diam adalah keadaan saat seorang pekerja melakukan usaha seminimal mungkin dalam bekerja. Pekerja ini tidak memiliki dorongan untuk bekerja lebih baik atau berjuang untuk posisi yang lebih tinggi.

Fenomena kedua adalah maraknya lapangan pekerjaan non-formal. Saat ini, pekerjaan formal yang tersedia tidak dapat memenuhi permintaan pekerjaan yang terus berubah. Pekerjaan non-formal membuka banyak peluang bagi orang-orang yang mempunyai kinerja lebih baik dalam lingkungan yang lebih memberikan kebebasan.

Merespon fenomena tersebut, Riitta menyarankan industri untuk mengembangkan “skill-based organization” (organisasi berbasis keterampilan). Pendekatan ini berfokus pada pekerjaan apa yang perlu dilakukan, bukan pada jabatan apa telah terdefinisikan. Dalam organisasi berbasis keterampilan, manusia bekerja sama dengan mesin dan kecerdasan buatan, jobdesc formal sudah tidak relevan, dan semua jenis skema kepegawaian telah tersedia.

Menavigasi perubahaan memang tidak mudah. Maka Riitta menggarisbawahi keterampilan sosiologi kepemimpinan. Seorang pemimpin harus menjadi sosiolog, memahami bagaimana lingkungan membentuk manusia. 

“Pembelajaran lebih penting dari data,” jelasnya, menekankan betapa persepsi manusia sangat penting dalam menafsirkan data.

Kontributor: Muhammad Lauda, MBA YP 69