SBM ITB memiliki visi untuk mendidik mahasiswa menjadi pemimpin yang inovatif dan berjiwa wirausaha, serta mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan bisnis dan manajemen untuk kemajuan bisnis, pemerintah, dan masyarakat. Salah satu individu yang sepenuhnya terlibat dalam visi ini adalah Yorga Permana, Ph.D., seorang dosen SBM ITB yang punya impian untuk menggerakkan human capital agar senantiasa memberi dampak dengan inovasi dan semangat penciptaan nilai (value creation).

Perjalanan sebagai Aktivis Organisasi
Sejak SMA, Yorga sudah menunjukkan bakat kepemimpinannya. Sebagai ketua OSIS di SMAN 3 Bandung pada tahun 2007, ia menemukan panggilan untuk belajar menjadi pemimpin. Di bangku kuliah, ia terus mengasah kemampuan tersebut dengan menjadi Head of Public Policy Department di KM ITB pada 2012. Di tingkat S2 dan S3, ia aktif berorganisasi di PPI Belanda dan PPI United Kingdom juga di bidang pendidikan, riset, dan kajian strategis. 

“Bagaimanapun kita adalah bagian dari creative minority. Dari ratusan juta penduduk Indonesia, gak banyak orang yang diberi kesempatan belajar di ITB, apalagi di luar negeri. Oleh karena itu, ada panggilan tanggung jawab bagi saya untuk memberi dampak. Bukan hanya dengan belajar ilmu, tetapi juga dengan memberikan nilai,” ujar Yorga ketika ditemui di Bandung pada Kamis (18/7). Baginya, organisasi adalah tempat untuk belajar berinteraksi dan berbagi kebermanfaatan.

Di ITB, Yorga mengambil jurusan Manajemen Rekayasa Industri dan menulis skripsi dengan topik tentang pendampingan UMKM. Di sini ia menemukan bahwa kunci sukses sebuah bisnis terletak pada inovasi dan aspek manusia sebagai penggeraknya.

“Kesempatan bisnis sebesar apapun, jika orangnya belum siap, tidak akan bagus. Manage people dulu. Selanjutnya, ketika ada inovasi dan teknologi masuk, tools ini bisa membantu manusia lebih produktif,” jelasnya. 

Selain itu, saat S1, Yorga juga sempat magang di BRIN (dulu bernama BPPT). Di sana Yorga meneliti dampak inovasi dan teknologi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kedua momen itu menjadikan Yorga memiliki ketertarikan dalam riset seputar inovasi dan pengembangan human capital.

Melanjutkan Pendidikan ke Luar Negeri
Pengalaman berharga didapatnya saat melanjutkan studi master dengan beasiswa LPDP di Eindhoven University of Technology pada 2015 di bidang Innovation Science. Tesis Yorga berfokus kepada dampak inovasi bagi ketimpangan ekonomi.

“Temuan riset saya mengkonfirmasi bahwa, jika tidak diarahkan dengan baik, inovasi dan perubahan teknologi hanya akan menguntungkan segelintir orang. Akan ada winners dan losers di dalam masyarakat kita,” ujar Yorga. 

Pengalaman ini semakin diperkaya ketika ia melanjutkan studi doktoral di London School of Economics (LSE) antara 2019-2024 dengan mengambil topik disertasi tentang Gig Economy. Riset Yorga berfokus kepada dampak teknologi digital dan ekonomi platform kepada penciptaan lapangan pekerjaan baru di Indonesia. 

“Di satu sisi, sebagian masyarakat bisa menjadikan peluang bekerja di dalam ekonomi digital sebagai batu loncatan untuk naik kelas ekonomi. Tapi di sisi lain, banyak yang terjebak di dalam pola pekerjaan baru ini tanpa mendapatkan upah dan kondisi kerja yang layak. Ini yang menjadi perhatian dalam disertasi saya,” ujar Yorga.

Selama studi di LSE, ia juga menemukan budaya akademis yang ideal, baik dalam urusan riset maupun pengajaran. Menurut Yorga, budaya membahas ide dan riset harus menjadi percakapan keseharian di kampus. 

“Di departemen saya, kami berkumpul setiap minggu dalam work in progress seminar. Dosen dan mahasiswa membedah metodologi dan hasil penelitian masing-masing secara bergantian. Ini perlu kita implementasikan di SBM ITB,” ujarnya. 

Dalam aspek pengajaran di kelas, budaya membaca dan menulis berbasis critical thinking adalah sesuatu yang berkesan baginya. Sebelum masuk kelas, mahasiswa dituntut untuk membaca pre-reading material sehingga mereka masuk kelas dalam kondisi kepala sudah terisi. 

“Sementara untuk asesmen pembelajaran, hampir di semua kuliah mahasiswa diminta untuk menulis esai ribuan kata. Dengan begitu, kualitas menulis, berargumen, dan berpikir kritis kita ditempa,” lanjut Yorga.

Saat menempuh gelar Ph.D. di London, Yorga tidak hanya fokus pada studinya. Ia turut mendirikan Doctrine UK, sebuah komunitas epistemik untuk lebih dari 500 mahasiswa doktoral asal Indonesia di Inggris Raya. Dengan Doctrine UK, Yorga dan rekan-rekannya berhasil menciptakan wadah bagi para peneliti muda Indonesia untuk saling berbagi dan berkolaborasi, sebuah langkah yang ia harap dapat membawa dampak positif bagi komunitas akademis di Inggris maupun di Indonesia. Ia percaya bahwa kunci kemajuan riset Indonesia adalah jika para akademisinya berkolaborasi dan saling dukung satu sama lain.

Menjadi Pendidik dan Penggerak Nilai

Lulus dari LSE pada awal tahun 2024, Yorga kembali mengajar di SBM ITB sebagai dosen di bidang People and Knowledge Management. Ia berkeinginan melanjutkan topik risetnya terkait inovasi dan human capital. Menurutnya, sudah saatnya sekolah bisnis berbicara lebih jauh mengenai kebijakan yang berfokus pada inovasi, pengembangan sumber daya manusia, dan penciptaan lapangan kerja.

“Sekolah bisnis harus lebih banyak bicara tentang kerja layak. Konsep ESG tidak hanya bicara soal planet, tapi juga people dan society. Sekolah bisnis harus mendorong perusahaan agar berperan dalam menciptakan nilai manfaat untuk karyawannya. Di sinilah konsep-konsep seperti workplace well-being, employee engagement, dan learning and development menjadi semakin relevan,” ungkapnya.

“Sekolah bisnis juga harus mendorong lulusannya untuk senantiasa berinovasi dan menciptakan nilai tambah. Lulusan SBM ITB harus berkontribusi dalam penciptaan lapangan kerja yang layak di masa depan. Baik itu secara langsung melalui kewirausahaan, atau secara tidak langsung dengan mengambil peran sebagai inovator di sektor profesional dan tempat kerjanya masing-masing.” 

Impian Masa Depan

Bagi Yorga, menjadi dosen adalah sebuah milestone berharga dalam tujuan hidupnya. Kesuksesan sejatinya adalah ketika ia berhasil mengembangkan orang lain. 

“Misi kemanusiaan saya tercapai kalau banyak orang yang bisa terdampak oleh kehadiran saya. Di sinilah saya menikmati peran sebagai seorang dosen: membimbing, mengajar, dan mendampingi mahasiswa untuk tumbuh dan belajar,” katanya.

Di masa depan, Yorga bercita-cita untuk tidak hanya menjadi dosen yang berdiam diri di kampus. Ia ingin terlibat dalam pengembangan kebijakan di bidang inovasi dan people development. 

“Masih belum banyak solusi-solusi teknokratis yang hadir dari para akademisi yang menghubungkan konsep SDM, kebijakan inovasi, dan penciptaan lapangan kerja,” pungkas Yorga.

Kontributor: Hansen Marciano, Manajemen 2025