Mohamad Bijaksana Junerosano, Founder and CEO Waste4Change, mengatakan masalah sampah di Indonesia adalah bagian dari isu global yang memerlukan kerja sama lintas sektor. Minimnya regulasi dan kesadaran publik dalam pengelolaan sampah, serta pentingnya integrasi teknologi dan koordinasi lintas antar pemangku kepentingan menjadi kunci pengelolaan sampah. 

Hal itu disampaikan Sano saat mengisi kuliah tamu “Navigating Sustainability: Exploring ESG Principles for Future Leaders” pada Selasa (22/10) di SBM ITB. Sano, panggilan akrab Mohamad Bijaksana Junerosano, mendirikan Waste4Change pada tahun 2014 dengan fokus pada pengelolaan sampah. 

Sejak saat itu, perusahaan ini konsisten menghadirkan solusi pengelolaan sampah dengan berfokus pada empat pilar bisnis yang meliputi layanan konsultasi, pengelolaan sampah berkelanjutan, bisnis daur ulang, serta pengembangan rekayasa dan teknologi. Hingga 2024, Waste4Change telah mengelola 10.000 ton sampah per tahun di lima kota di Indonesia.

Kuliah tamu ini juga menghadirkan Riko Tasmaya, Managing Director Head of Wholesale Banking PT Bank HSBC Indonesia. Menurut Riko, HSBC berkomitmen mencapai net zero emission pada tahun 2050. Mereka fokus pada tiga aspek utama yaitu mendukung transisi melalui berbagai solusi produk dan layanan yang ramah lingkungan, menerapkan net zero dalam operasional perusahaan, serta berkolaborasi dengan sektor publik dan swasta untuk perubahan sistematis.

Sebagai bagian dari upaya mendukung Environmental, Social, and Governance (ESG), HSBC telah menerapkan Green Financing Framework melalui HSBC Green Bond Framework. Ini merupakan langkah konkret untuk membantu investor mencapai tujuan berkelanjutan mereka, sembari mendorong klien memanfaatkan peluang dalam ekonomi rendah karbon yang berkembang pesat.

Selain itu, HSBC telah membentuk tim spesialis bisnis yang secara khusus ditugaskan untuk mengidentifikasi peluang dan mendukung klien dalam pembiayaan bisnis rendah karbon. Langkah ini diharapkan dapat mempercepat transisi menuju masa depan berkelanjutan dengan barang dan jasa yang ramah lingkungan.

Sementara itu, Dosen SBM ITB Isti Raafaldini, mengatakan SBM ITB juga punya langkah konkret untuk mendukung penerapan ESG di tanah air. SBM mengintegrasikan konsep ESG ke dalam kurikulum pembelajaran, serta mengadakan seminar dan kuliah tamu dengan mengundang perusahaan yang telah berhasil mengimplementasikan prinsip-prinsip ESG dalam operasional mereka.

“Harapannya, mahasiswa SBM sebagai pemimpin masa depan memahami betapa pentingnya ESG bagi kelangsungan bisnis yang berkelanjutan,” ujar Isti.

SBM telah memformulasikan societal impact nya, dimana area fokusnya adalah SGD 8 yang terkait economic growth. Pengejawantahan societal impact tersebut diturunkan dalam program pengabdian masyarakat, penelitian dan kurikulum yang berdampak pada economic growth.

Kontributor: Lavena Laduri, MBA YP 2024