Proses pengambilan keputusan iklim menjadi semakin sulit karena banyaknya variabel yang saling memengaruhi. Hal tersebut kemudian menciptakan kondisi di mana pengambil kebijakan sering kali tidak memiliki kapasitas penuh untuk membuat keputusan cepat. Fenomena ini diperparah oleh budaya media sosial yang membentuk opini publik, sering kali membuat masyarakat lebih memilih “the lesser evil” dalam proses pemilihan pemimpin atau kebijakan iklim.
Demikian disampaikan Spesialis Pertanian di Bank Dunia sekaligus Manajer Senior Kemitraan di Earth Security, Heru Prama Yuda, MA, saat mengisi kuliah tamu di SBM ITB pada Kamis (7/11). Heru memaparkan pandangannya mengenai tantangan dalam mengambil keputusan tegas untuk aksi iklim global dalam sebuah sesi diskusi bertajuk “Challenges to Being Decisive in Global Climate Action.” Berbekal pengalaman luasnya di Bank Dunia dan Earth Security, Heru menjelaskan kompleksitas dan tantangan dalam pengambilan keputusan di tengah perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Dalam kelas tersebut Heru juga membahas konsep tragedy of the commons, di mana eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam, seperti penggembalaan, penangkapan ikan, dan konsumsi kopi, menyebabkan berkurangnya ketersediaan sumber daya.

“Kita seolah-olah menggunakan sumber daya bumi yang terbatas tanpa batas,” ungkap Heru.
Ia memperingatkan bahwa jika pola konsumsi saat ini terus berlanjut, maka dibutuhkan setidaknya 1,7 kali lipat dari sumber daya bumi untuk mendukung kehidupan manusia—suatu hal yang jelas tidak mungkin.
Heru lalu mengangkat pentingnya penerapan sistem pasar karbon sebagai salah satu solusi menahan kerusakan lingkungan. Ia menjelaskan, Bank Dunia mendukung mitigasi perubahan iklim melalui pengembangan ekosistem digital untuk pasar karbon, yang dapat memberikan insentif ekonomi bagi negara-negara seperti Indonesia untuk melestarikan hutan dan mengurangi emisi karbon. Sebagai contoh, Kalimantan Timur yang berhasil menurunkan emisi hingga 20 juta ton CO₂ tahun lalu, menerima pendanaan sebesar 100 juta dolar AS sebagai hasil upayanya tersebut.
Indonesia, yang kaya akan keanekaragaman hayati dengan sekitar 10% hutan primer dunia dan 20% mangrove global, memiliki tantangan besar dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Walau pemerintah menargetkan net zero emission pada tahun 2060, Heru menyoroti bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara sebagai sumber energi utama, sehingga diperlukan kebijakan lebih tegas untuk mencapai target tersebut. Untuk itu, Heru mengajak para generasi muda Indonesia sebagai pengambil keputusan masa depan untuk berani bertindak tegas dalam menjaga lingkungan.
“Indonesia masih punya banyak aset alam yang berharga bagi dunia. Saatnya kita menjadi generasi yang berani mengambil langkah nyata untuk keberlanjutan bumi ini,” pesannya.
